Kamis, 20 Oktober 2011

Rumah

 JANGAN  DIBUKA!

Oleh : Fanny J.Poyk

Fanny J. Poyk














Seharusnya rumah itu bisa menjadi ruang publik yang nyaman bagi siapa  saja yang kenal dekat dengan penghuninya. Tapi kali ini tidak. Meski kesan simple dengan hawa sejuk bersumber lewat semilir angin yang datangnya dari arah taman, kenyamanan yang dulu pernah tercipta tetap saja tak terasa.Kontur tanah bergelombang dan menurun di mana rumah itu berdiri, sesungguhnya tidak   mengurangi kecantikan bangunannya. Dari kejauhan, rumah yang mirip villa dengan rona putih bercampur biru langit itu, terlihat begitu natural. Ya, rumah itu meski indah dari kejauhan, dia berdiri muram, dia sendiri tanpa teman, sendiri dengan beragam kisah yang pernah terjadi di dalamnya.

“Kau ingin tinggal di situ lagi?” tanya si anak remaja pada seorang gadis berusia empat belas tahunan. Mereka menatap rumah itu dari luar pagar.

Yang ditanya menggeleng.

“Kenapa?”

“Terlalu menyakitkan, Kak.  Tiap sudut rumah itu serasa penuh jiwa yang getir. Jiwa-jiwa yang dulu ada di dalamnya seolah memerhatikan ke mana langkahku, apa saja yang aku lakukan, dan…”

“Dan apa?”

“Ada rasa sakit yang tersisa di sana. Sangat sakit, aku terus mengenangnya, sampai kapan pun rasa sakit itu tidak akan hilang.”

“Ya, aku juga bisa merasakannya. Tapi sudahlah, masa yang pernah kita rasakan adalah masa yang penuh dengan cerita. Biarlah itu kita simpan rapat-rapat dan kita jadikan kenangan pahit yang tak perlu dikenang lagi. Aku harus kembali, hati-hati dan jaga dirimu, Dik.”

“Kakak juga, kalau ada apa-apa, telpon atau SMS aku ya!”

***
            Dua mahluk berlainan jenis, bediri di atas tanah berkontur dengan gelombang yang tidak rata itu. Dua pohon mangga, satu pohon manggis memerhatikan kehadiran mereka  dalam bisu. Tak ada yang aneh di situ, semua nyaris sempurna. Sepasang kekasih yang saling menyintai, yang satu tampan dan satunya cantik. Kemesraan yang tercipta sangat alami, sealami cinta yang telah mereka ikrarkan dalam bentuk pernikahan suci di depan altar. Mereka saling berpelukan, saling  meremas jemari, sang pria memeluk pinggang wanita yang langsing berlekuk indah.

“Sayang, kau suka bila kubangun rumah di atas tanah ini?” tanya si pria.

“Tentu aku suka sayang. Aku percaya, kau pasti akan memberikan yang terbaik untukku.” Sahut sang wanita.

“Ya, di sini kelak akan lahir anak-anak yang cantik dan tampan. Di sini kerajaan kecil kita akan tercipta.”

“Kita pasti akan mereguk kebahagiaan di rumah ini,” bisik si wanita manja.

Sang lelaki kian mempererat pelukannya. Semburat jingga di langit yang cerah menyinari wajah mereka yang penuh rona bahagia. Rumah dengan banyak ruang terbuka dan berlantai dua itu akhirnya berdiri kokoh.
Secara fungsional rumah seluas 200 meter itu sangat akrab dengan penghuni dan para tamu. Penghuninya adalah pribadi-pribadi yang terbuka, sehingga setiap tamu yang datang selalu merasa betah berada di situ. Dua daun jendela berukuran lebar di pasang di atas, udara yang masuk melalui daun jendela itu merayap perlahan menelisik ke segenap ruang yang ada di bawah. Kesan hommy begitu terasa, tiga pilar yang menyangga beranda diberi cat putih, dari kejauhan, kesan rumah dengan gaya Spanyol begitu kuat. Rumah mungil  itu, selalu menyedot perhatian bagi siapa saja yang melewatinya. Di sana, di dalamnya bersemayam suami isteri yang bahagia, dua anak yang tampan dan cantik. Rerimbunan pohon mangga dan manggis, tebaran bunga mawar dan gantungan anggrek catleya serta anggrek bulan, kian menambah elok penampilan rumah itu. Semua serba damai, semua serba sejuk, semua serba harmonis, semua serba…

Keindahan yang seharusnya terus terucap di penghujung waktu, berubah kelu. Dan rumah itu akhirnya berbalut luka.  Sepuluh tahun menjalin mahligai rumahtangga yang bahagia, tercampakkan di bara api yang meletup-letup. Bara api itu kian membesar. Menjilat-jilat tiap nafas yang ada di dalamnya. Derai air mata, tangisan menyedihkan, tatapan mata anak-anak yang ketakutan, dan lontaran-lontaran piring terbang serta bunyi gelas yang dibanting, semuanya berpadu cepat bersama deru kata-kata makian yang terucap dari sepasang suami isteri yang dulunya sangat saling menyinta.

Rumah itu, ya rumah itu berdiri bisu, tiap sapuan cat yang menempel di dinding tak lagi berwarna ceria. Semua tiba-tiba menjadi kusam, sekusam derai air mata dua anak mereka yang setiap saat selalu menyaksikan pergolakan panas dua mahluk yang dulu pernah bersatu, pernah berikrar bahwa di rumah itu akan tercipta harmonisasi kehidupan dalam cinta dan kebersamaan.

“Kau yang memulai semuanya, Mas. Perempuan itu ternyata berhasil mengalihkan perhatianmu. Aku tidak bisa bertahan di sini, tak ada lagi cinta di sini. Pergilah kau dengannya. Aku juga akan pergi dari sini!” tangis sang isteri membasahi lantai dingin rumah itu.

“Kau yang harusnya disalahkan. Sudah kubilang berkali-kali, jangan terlalu sibuk, perhatikan aku dan anak-anak, tapi kau lebih asyik dengan organisasimu, kumpulan teman-teman penulismu, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitasmu. Kau lupa, kalau kau seorang ibu, ibu yang seharusnya memerhatikan perkembangan anak-anak, memerhatikan suami.  Mungkin ini sudah jalannya, perempuan itu lebih segalanya darimu!”

“Kau pandai berdalih, sejak dulu aku tahu kau memang mata keranjang. Seharusnya aku tidak mudah tertipu oleh rayuan gombalmu. Kau tak lebih dari pecundang jantan yang menebarkan benih di sembarang tempat. Kau sampah!”

“Kau yang sampah. Aku tertipu olehmu. Setelah menikah baru kutahu beberapa lelaki pernah mengecap tubuhmu. Kau tak perawan lagi. Kau perempuan murahan!”

“Kurangajar kau, yang murahan itu kau! Kau penjahat kelamin!”

Lalu adu jotos terjadi. Keesokkan harinya di wajah si isteri penuh tanda biru dan lebam. Perpisahan, ya perpisahan itu kemudian tercipta. Mereka membagi anak-anak yang lahir dari sepuluh tahun pernikahan,  yang perempuan ikut sang isteri, yang laki-laki ikut si suami. Pembagian yang menurut mereka adil, telah terjadi. Mereka tak pernah mendeteksi luka dalam yang tersimpan pada sepasang anak yang mereka ciptakan. Mereka tak pernah peduli bahwa suatu saat kelak, luka itu akan terus menganga dan berubah menjadi bumerang dendam yang sungguh memilukan.

Begitulah, setelah perceraian, sang mantan suami membawa anak laki-lakinya keluar dari rumah. Bekas isterinya juga membawa anak perempuannya pergi. Ia ikut suami barunya yang memberikannya sebuah rumah mewah di daerah elit dan mahal. Kakak beradik itu berpisah. Rumah bercat putih nan sejuk itu, kian dingin dan sepi, tak ada lagi penghuni yang mendiaminya. Perlahan-lahan, rumah itu kusam, sekusam warna tembok yang mulai mengelupas.


***

“Seandainya kita bisa bicara, betapa sedihnya hidup kita. Kau lihat, warna tembokku tak lagi cerah seperti dulu.”

“Dulu mereka membangunnya penuh cinta, tapi mengapa sekarang mereka menghancurkannya?”

“Sia-sia semua yang telah mereka bangun. Ego yang tercipta sekilas, berhasil menghapus semua bahagia yang telah mereka bangun bersama-sama.”

“Coba perhatikan, di tepian rel, di perkampungan kumuh, di etalase pertokoan, di sudut-sudut terminal, manusia menyesaki tempat itu dengan lelap dan tanpa beban. Tapi di sini, semuanya dibangun dengan sia-sia. Kita yang dibangun berdasarkan fondasi yang kuat pun tak memberikan kenyamanan bagi mereka.”

“Yah…aku rindu masa-masa bahagia itu. Aku rindu akan celoteh dua anak mereka yang lucu-lucu. Sayang, semuanya terhapus oleh badai pagi yang muncul mendadak. Kebahagiaan itu sirna bersama derai air mata.”

Tiga pilar yang dibagun kokoh itu saling bertatapan. Dinginnya udara malam membuat mereka  ingin  bertautan, ingin saling memeluk, namun mereka tak bisa melakukannya. Mereka hanya dapat membisu, menyaksikan malam-malam sepi yang setiap saat datang menyelimuti.

***

Mereka berjanji untuk bertemu di rumah itu lagi. Mereka berjanji untuk  mengecat dan membersihkan seluruh ruangan yang ada di rumah itu. Meski cinta telah pergi, mereka ingin membangkitkan kenangan indah yang dulu pernah tercipta. Tiap jengkal langkah yang mereka lalui, dulu pernah memberikan mereka sebuah rasa dan asa. Asa itu memang masih tetap ada, mereka ingin menciptakannya di dalam rumah yang meninggalkan banyak kenangan masa kecil.

“Kak, apakah mungkin Ayah dan Ibu bisa bersatu kembali menempati rumah ini?”

“Kurasa tidak. Mereka telah menjelma menjadi musuh yang saling membenci, mencengkeram dan menjatuhkan.”

“Mengapa cinta yang dulu menggebu begitu cepat sirna?”

“Entahlah, barangkali dulu mereka tidak benar-benar saling menyintai.”

“Jika benar demikian, mengapa mereka membuat kita ada?”

“Itulah misteri cinta adikku, sampai sekarang aku pun tidak mengerti.”          

“Kak, aku rindu masa kanak-kanak kita dulu.”

“Aku juga.”

“Kalau begitu, kita tinggalkan mereka, kita kembali ke rumah ini.”

“Suatu saat mungkin bisa. Sekarang belum. Kita masih berada di bawah pengawasan mereka. Nanti…ya nanti…setelah kita dewasa, kita tinggal bersama lagi di rumah ini.”

“Kakak janji, ya, kita tidak akan berpisah. Kita akan kembali ke rumah ini!”  

“Iya adikku, kita akan bersatu kembali.”

Rumah itu tersenyum. Pilar-pilarnya kian kokoh berdiri. Sepanjang cinta  masih tersisa di sana, rumah akan selalu hangat, sehangat sepasang remaja yang rindu tinggal kembali di sana.           

 “Sampai jumpa, Dik. Minggu depan kita bertemu di sini lagi. Kita kumpulkan mainan masa kecil yang masih terserak!”

“Ya, kita kumpulkan mainan-mainan kita agar benda-benda itu tidak tercerai-berai.”

Lalu, di tikungan jalan keduanya berpisah, si remaja perempuan kembali ke rumah ibunya dan sang kakak pulang ke tempat tinggal ayahnya. Rumah bergaya Spanyol itu memerhatikan mereka dalam bisu.

***
MASIH MUDA PENGIN PUNYA PENGHASILAN?  BELAJARLAH DI FORMULA-BISNIS.

Laporkan Pelanggaran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar