Kutemukan Cinta Di Timor
Lorosae
Oleh : Fanny J Poyk
Fanny J Poyk |
Pesawat Boeing 737 yang membawaku dari Bandara Soekarno-Hatta
mendarat perlahan di Bandara El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur. Temperatur
mendekati 34 derajat Celcius menyambut kedatanganku. Sinar Matahari yang
membara bagai sorot lampu berkekuatan ribuat volt mendadak sontak menyengat dan
menyadarkanku, inilah kampung halamanku, asal-usulku, tempat darah moyangku
mengalir.
Dua petugas dari Dinas
Kementerian Pendidikan Nasional Provinsi NTT menyambutku. Mereka sudah
mengenalku karena beberapa kali kami pernah bertemu di Jakarta. Seperti
layaknya pejabat yang ke daerah, mereka mengangkat koperku dengan hormat,
membawanya ke mobil, kemudian berbasa-basi penuh tata krama birokrasi yang
diwarnai kalimat-kalimat klise, bersayap,
dan santun. Aku tersenyum. Hal seperti ini selalu aku alami bila aku ke
daerah.
Memang demikian. Semua
seperti sudah diplot. Tak ada keramahan yang tulus sebab aku tahu di benak mereka tersimpan kekhawatiran : siapa nanti
yang akan membayar hotelku? Siapa
yang akan membayar makanku? Siapa yang akan mengantar selama aku bertugas? Dan
sebagainya.
Maka sebelum kecemasan
mereka kian menumpuk, aku menenangkan mereka. ”Nanti tolong carikan hotel yang
standar untuk saya selama 3 hari, dan bill-nya saya yang bayar. Di sini ada taksi, kan? Makanan yang murah meriah dan enak ada di
mana saja?”
”Oh, ada Ibu. Ibu bisa
makan di pusat jajanan Kota Kupang atau di Mall Oebufu. Bisa juga di pinggir
pantai dekat Oesao. Di sana ada restoran-restoran ikan bakar yang lezat. Kalau
Ibu mau coba daging se’i juga boleh. Itu daging sapi asap yang diolah dengan
bunga pepaya dan daun singkong,” jelas seorang petugas dari dinas provinsi.
”Ibu mau kami jemput nanti
malam?” tanya rekannya.
”Tidah usah. Nanti saya
pakai angkot atau taksi saja.”
Dua petugas yang membawaku diam. Biasanya ada
sanggahan yang bernada tidak rela bila kalimat-kalimat itu kulontarkan. ”Jangan
Ibu, nanti Ibu kami jemput!” atau ”Ibu tunggu saja di hotel, nanti kami dan Pak
Kadis datang mengajak Ibu makan.” Hahaha …. Aku tertawa dalam hati. Kalimat-kalimat
seperti itu tidak keluar, dan aku membenarkan ucapan teman-temanku di Jakarta.
“Ingat kalau kamu ke NTT, jangan harap ada yang gratis. Uang saku harus
dihemat biar cukup,” saran seorang teman.
”Tenang, aku bukan
koruptor. Aku tidak akan memanfaatkan mereka, ” sanggahku. Aku tidak mau
meributkan masalah remeh-temeh seperti itu. Pulang ke kamupung asal,
menginjakkan kaki di bumi Timor Loro Sae sudah membuatku bahagia.
Keluar bandara, jajaran hijau pepohonan tak cukup
menyejukkan mata. Daun-daun mereka belum rimbun. Mungkin baru ditanam sebulan
atau dua bulan yang lalu. Sinar Matahari di Cakrawala kian mengganas. Kutemui
wajah-wajah khas sukuku dengan kulit cokelat kehitaman atau kuning langsat, berambut
keriting atau lurus, memenuhi halaman bandara.
Aku menyelinap di antara
orangtua yang masih memamah sirih pinang. Logat Melayu NTT yang kahs dengan
intonasi dan singkatan-singkatan untuk mem-percepat waktu, terkadang membuatku
harus pasang telinga lebih awas lagi. Alunan nada suara tinggi dan rendah
bahkan berbisik memberikan pelajaran baru sekaligus menyentak kesadaranku.
Betapa asingnya aku pada tanah leluhurku snediri.
Sepanjang perjalanan
menuju kota Kupang kutemui batu karang dengan jejeran pohon lontar yang tumbuh
secara alami. Bukit-bukit yang separuh hijau dan separuh berkapur membentang
seolah-olah menyelimuti pantai yang terletak di bawah dan menjorok ke dalam.
Selebihnya, hamparan padang alang-alang di sisi kiri dan kanan jalan. Satu-satunya
keindahan adalah lambaian daun lontar yang tertiup angin laut. Pohon-pohon itu
seperti mengucapkan selamat datang kepadaku.
Dari balik jendela kulihat
kapal-kapal penangkan ikan melempar sauh, menanti angin baik untuk kembali
beroperasi. Cakrawala kian bersinar oleh matahari yang sangat terik. Biru langit
berpadu dengan awan putih yang membentuk lukisan-lukisan abstrak. Aku terbius
oleh panorama di hadapanku, perpaduan batu karang, alang-alang, dan deretan
pohon lontar yang merupakan penghasil gula merah, nira, dan sofi. Yang terakhir
itu adalah minuman keras khas NTT.
Dan aku tiba-tiba merasa
sedih. Ingatanku langsung
melayang pada Yuri. Ah, nama
itu muncul tiba-tiba di benakku. Di mana dia sekarang? Apakah masih di Kupang?
Apakah sudah menikah? Apakah sudah mempunyai anak? Atau ... jangan-jangan sudah
memiliki cucu?
Yury! Nama itu selalu
membangkitkan kenanganku tentang Timor Lorosae. Ada goresan lara saat kuinjakkan kakiku di
tanah yang baru kudatangi pertama kali
ini. Dia, lelaki yang namanya selalu menggetarkan perasaanku hingga kini,
rasanya masih memiliki magnet dan pesona tersendiri yang kusimpan rapat-rapat di dasar hatiku. Tak ada yang tahu kisahku dengannya. Semua
kusimpan dengan rapi di sanubariku.
Yury adalah cinta pertamaku. Cinta sepihak karena
dia tak pernah tahu betapa aku mencintainya. Aku menjaga cinta itu hingga kini,
menjelang empat puluh tahun usiaku. Bisakah Yuri kutemui di sini? Ha, aku
tersenyum dalam hati, tak yakin dengan harapanku sendiri.
”Ibu mau menginap di hotel
apa? Di sini ada hotel Pantai Timor, Hotel Sesandu, Kristal, dan hotel-hotel
kelas melati. Ibu mau yang kelas apa?” tanya si penjemput mengejutkanku.
”Yang melati saja, asalkan
bersih.”
Dua petugas dari dinas
pendidikan itu mengangguk diam. Perutku sudah mulai keroncongan. Di luar sana
hijaunya pepohonan sudah tampak mulai menipis. Kami melewati sisi jurang yang
cukup curam. Di sekelilingnya batu-batu karang berdiri dengan kokoh perkasa.
Selebihnya, hamparan tanah
kosong dengan beberapa kelompok perumahan penduduk terlihat di sana-sini.
Mendekati arah ke kota, perumahan terlihat kian memadat, namun tanah-tanah
kosong di sana sini masih terlihat. Riuhnya kota Kupang adalah karena bunyi
klakson angkutan kota dan musik yang berdentam-dentam memekakkan telinga.
”Ibu, kita sudah tiba di hotel!” ujar si
penjemput.
Aku tersentak. Pikiranku
tentang Yuri buyar. Mataku menatap bangunan yang disebut hotel. Sederhana,
mirip wisma, di sana-sini penuh puing-puing kayu dan sisa cipratan adukan
semen. Hm … hotel ini tampaknya sedang dipugar. Aku berharap kamar mandi dan
sepreinya bersih dan segar.
Dugaanku
setengahnya benar. Kamar sudah jelas jauh berbeda dengan hotel bintang lima atau tempat yang
kerap kuinapi. Aku bersyukur aroma segar sabun cuci favoritku tercium dari
seprei dan sarung bantal yang baru dipasang. AC setengah PK yang baru
dinyalakan masih terasa suam-suam kuku. Dinginnya belum menyebar ke seluruh ruangan. Kutengok
kamar mandi, lumayan bersih. Tak ada kecoak yang berlari dengan bebas di
dalamnya.
Aku
menarik nafas lega. Setelah kedua
penjemputku pamit, kuempaskan diriku di pembaringan. Khayalanku tentang Yury kembali
menari-nari. Kucari namanya di HP-ku. Nomor HPnya kuperoleh dari seorang teman yang kebetulan satu kantor dengannya. Dadaku
berdebar kencang ketika nama itu muncul dengan jelas. Haruskah aku menelponnya
dan mengabarkan kedatanganku ke kota ini? Ah ...!
Selang beberapa menit ada
yang mengetuk pintu kamar hotelku. Di sana, di balik pintu, seorang pria
tinggi, gagah, berkulit sawo matang, tersenyum menyapaku.
”Selamat siang Bu Rima.
Senang bisa mengenal Ibu. Bagaimana, apakah Ibu bahagia akhirnya bisa menginjak
tanah leluhur?”tanyanya.
Aku agak sedikit
terkesiap. ”Maaf, Bapak siapa? Dari mana Bapak tahu saya asli orang sini?”
”Kenalkan, saya Herman
Nalle, kepala bidang untuk urusan bakat dan prestasi siswa di dinas pendidikan
sini. Saya tahu Ibu dari Yuri, kakak saya,” sahutnya sambil mengulurkan tangan.
Yuri? Aku bertanya dalam
hati. Detak jantung di dadaku menjadi lebih keras. Dari mana dia tahu aku ada di sini? Sudah cerita
apa saja dia tentang aku?
“Yuri kebetulan mendengar saat saya bicara dengan
anak buah tentang kedatangan Ibu. Dia bilang sangat mengenal Ibu.”
”Kapan kita memantau
kegiatan siswa, Pak? Seluruh peserta dari daerah sudah datang?” aku memotong
kalimatnya secepat debar di dadaku.
”Hari ini siswa-siswa
peserta seleksi olahraga baru tiba dari daerah masing-masing. Mereka ada yang datang dari Alor, Ende,
Flores, Maumere, dan Lembata. Beberapa daerah menunda keberangkatan karena cuaca kurang bersahabat. Mereka
menggunakan kapal ferry untuk menyeberang.”
Aku tercenung. Seleksi
pemilihan siswa-siswa SMA NTT yang akan bertarung kejuaraan olahraga SMA
tingkat nasional ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Perjuangan mereka
untuk tiba di ibu kota provincia tidak
segampang membalikkan telapak tangan. Selain biaya dan waktu, cuaca pun bisa
menjadi kendala.
“Kami berharap besok
seluruh peserta sudah tiba dan lusa
seleksi sudah bisa dilaksanakan.” Herman seakan mengerti jalan pikiranku. “Yuri
ingin bertemu dengan Ibu jika Ibu ada waktu.,” lanjutnya perlahan.
Sialan! Aku mengumpat dalam hati. Apa yang
sudah diceritakan lelaki itu pada
adiknya? Apakah dia tahu kalau aku sangat mencintainya?
“Boleh saja kalau dia mau ke sini. Ajak serta anak dan istrinya biar saya
bisa berkenalan denagn mereka..” Hhh ... formalitas yang penuh basa-basi,
kutukku dalam hati.
Herman menatapku sekilas.
Dia tidak memberi respons atas ucapanku. Padahal aku ingin sekali tahu seperti
apa sosok istri Yury. Ketika kami kembali berbincang-bincang tentang pekerjaan
yang akan kami hadapi besok, telepon genggamnya berdering dan Herman segera beranjak
keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Saat ia kembali, wajahnya murung dan pucat.
’Ada apa, Pak Herman?”
”Maaf, Bu, saya harus ke
rumah sakit. Istri Yury kritis.” Lelaki tinggi gagah itu dengan cepat berlalu.
Aku termenung di tempat. ”Hey
.. bolehkan aku ikut ke rumah sakit?” seruku tiba-tiba.
Herman membalikkan
tubuhnya dan memandangku tajam sebelum akhirnya berkata, ”Baiklah jika Ibu
tidak keberatan.”
Aku tidak menyangka akan alur cerita akan menggiringku ke arah
seperti ini. Ketika akhirnya bertemu Yury, aku bergetar dalam diam. Dia masih
sama seperti dulu. Tinggi, gagah, berperut rata, kulit kecoklatan, rambut lebat
lurus, dan berkacamata. Beberapa kerutan tampak di sudut-sudut matanya yang
semakin jelas saat dia tersenyum. Sungguh, dia sangat kharismatik dan
berwibawa.
”Halo Rima, apa kabar?” tanyanya
dengan raut wajah murung. Ia menjabat tanganku erat.
”Baik” sahutku serak.
Jantungku berdetak cepat.
Yury mengangguk. Kami tak
berkata-kata. Aku tahu Yury
melirikku beberapa kali.
”Kamu semakin matang,
anakmu berapa?” tanyanya perlahan.
”Sakit apa istrimu?”
Kucoba mengalihkan pertanyaannya.
”Jantung. Seharusnya ia tak boleh hamil. Kehamilan
ini sangat berbahaya dan berisiko buatnya. Ini salahku.”
Aku hampir tersedak. ”Anakmu
berapa?”
”Empat. Ini yang kelima!”
Klai ini benar-benar aku
tersedak hingga terbatuk-batuk.
Amboi, andai saja aku yang melahirkan lima anak
itu1 Andai saja Yury menyebarkan benihnya di rahimku. Andai saja ...
Maaf Rima, aku harus masuk
ke dalam!” Tiba-tiba Yury memegang bahuku, kemudian melangkah ke dalam ruangan
dengan wajah pucat. Ynag terjadi
kemudian adalah hening dan bisu. Selanjutnya suara tangisan panjang suara
remaja dan anak-anak terdengar dari dalam kamar tempat istri Yury dirawat. Aku
tahu di sana baru saja ada yang kehilangan istri dan ibu.
Dua hari kemudian, Yury
mengantarku ke bandara El Tari. Dia sudah tampak tenang.
”Rima, bagaimana
perasaanmu selama berada di tanah leluhurmu?” tanyanya.
”Banyak yang kurasakan.
Gembira, senang dan surprise.”
”Oh ya. Mengapa surprise.”
”Hmm ...”
Bertemu denganku?” Yury
memotong.
Duh! Lidahku tiba-tiba
kelu. Dua titik bening merebak di kedua sudut mataku. Aku hampir menangis.
”Sudahlah, aku tahu apa
yang kau rasakan. Dua puluh lima tahun bukan waktu yang sedikit untuk
menyimpannya. Aku tahu apa yang ada di hatimu, Rima. Seharusnya kau tanyakan
mengapa aku pulang ke kampungku pada ayahmu.”
”Ada apa? Apa yang harus
kutanyakan pada ayahku?” Kutatap wajah Yury dengan pandangan tak mengerti.
Yury menatap cakrawala
yang hampir senja di atas bandara El Tari. ”Ayahmu pernah berkata, bila aku
meminangmu dan membawamu kembali ke NTT, berapa belis yang bisa kuberi. Kau
tahu, Rima, belis itu adalah mas kawin yang harus kuberikan kepadamu. Ayahmu
meminta sepuluh ekor sapi dan sepuluh ekor kerbau sebagai mas kawin untukmu. Waktu
itu aku tertegun mendengarnya. Orangtuaku petani miskin, aku bisa kuliah berkat
beasiswa yang diberikan pemerintah. Dari mana bisa kuperoleh belis sebanyak
itu?”
Kini air mataku
benar-benar tumpah. Sebelum masuk ke ruang check in bagasi, kukecup punggung
tangan Yury dengan air mata yang membasahi pipiku. ”Maafkan ayahku, Yury. Asal
kau tahu aku cinta padamu. Selama dua puluh lima tahun kujaga rasa cinta itu
dengan khayal dan imajinasiku. Selama dua puluh lima tahun, kulalui
kesendirianku sambil mengenang dirimu. Selama dua puluh lima tahun aku memilih
untuk tidak menikah demi merawat cintaku kepadamu. Selamat tinggal Yury ....”
Sekali lagi kupandang
wajahnya untuk terakhir kali sebelum kutinggalkan tanah ini. Di sana, pada raut
wajahnya aku melihat cinta.
Suara
Karya 2010
Diambil dari Kumpulan Cerpen
: Suamiku Dirampok Orang
Judul : Suamiku Dirampok Orang
Jenis : Kumpulan Cerpen
Pengarang : Fanny J Poyk
Penerbit : Teras Budaya
Tebal : 179 halaman (17 Cerpen)
Harga : Rp. 50.000,-
Bagi yang ingin memiliki bisa memesan di :
Phone : 0813 8011 8617
Tidak ada komentar:
Posting Komentar