Senin, 06 Februari 2012

Cerpen : Kutemukan Cinta di Timor Lorosae



Kutemukan Cinta Di Timor Lorosae
Oleh : Fanny J Poyk

Fanny J Poyk













Adsense Indonesia         
           Pesawat Boeing  737 yang membawaku dari Bandara Soekarno-Hatta mendarat perlahan di Bandara El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur. Temperatur mendekati 34 derajat Celcius menyambut kedatanganku. Sinar Matahari yang membara bagai sorot lampu berkekuatan ribuat volt mendadak sontak menyengat dan menyadarkanku, inilah kampung halamanku, asal-usulku, tempat darah moyangku mengalir.
            Dua petugas dari Dinas Kementerian Pendidikan Nasional Provinsi NTT menyambutku. Mereka sudah mengenalku karena beberapa kali kami pernah bertemu di Jakarta. Seperti layaknya pejabat yang ke daerah, mereka mengangkat koperku dengan hormat, membawanya ke mobil, kemudian berbasa-basi penuh tata krama birokrasi yang diwarnai kalimat-kalimat klise, bersayap,  dan santun. Aku tersenyum. Hal seperti ini selalu aku alami bila aku ke daerah.
            Memang demikian. Semua seperti sudah diplot. Tak ada keramahan yang tulus sebab  aku tahu di benak  mereka tersimpan kekhawatiran : siapa nanti yang akan membayar hotelku? Siapa yang akan membayar makanku? Siapa yang akan mengantar selama aku bertugas? Dan sebagainya.
            Maka sebelum kecemasan mereka kian menumpuk, aku menenangkan mereka. ”Nanti tolong carikan hotel yang standar untuk saya selama 3 hari, dan bill-nya saya yang bayar. Di sini ada taksi, kan?  Makanan yang murah meriah dan enak ada di mana saja?”
            ”Oh, ada Ibu. Ibu bisa makan di pusat jajanan Kota Kupang atau di Mall Oebufu. Bisa juga di pinggir pantai dekat Oesao. Di sana ada restoran-restoran ikan bakar yang lezat. Kalau Ibu mau coba daging se’i juga boleh. Itu daging sapi asap yang diolah dengan bunga pepaya dan daun singkong,” jelas seorang petugas dari dinas provinsi.
            ”Ibu mau kami jemput nanti malam?” tanya rekannya.
            ”Tidah usah. Nanti saya pakai angkot atau taksi saja.”
            Dua petugas yang membawaku diam. Biasanya ada sanggahan yang bernada tidak rela bila kalimat-kalimat itu kulontarkan. ”Jangan Ibu, nanti Ibu kami jemput!” atau ”Ibu tunggu saja di hotel, nanti kami dan Pak Kadis datang mengajak Ibu makan.” Hahaha …. Aku tertawa dalam hati. Kalimat-kalimat seperti itu tidak keluar, dan aku membenarkan ucapan teman-temanku di Jakarta.
            “Ingat kalau kamu ke NTT,  jangan harap ada yang gratis. Uang saku harus dihemat biar cukup,” saran seorang teman.
            ”Tenang, aku bukan koruptor. Aku tidak akan memanfaatkan mereka, ” sanggahku. Aku tidak mau meributkan masalah remeh-temeh seperti itu. Pulang ke kamupung asal, menginjakkan kaki di bumi Timor Loro Sae sudah membuatku bahagia.
            Keluar bandara, jajaran hijau pepohonan tak cukup menyejukkan mata. Daun-daun mereka belum rimbun. Mungkin baru ditanam sebulan atau dua bulan yang lalu. Sinar Matahari di Cakrawala kian mengganas. Kutemui wajah-wajah khas sukuku dengan kulit cokelat kehitaman atau kuning langsat, berambut keriting atau lurus, memenuhi halaman bandara.
            Aku menyelinap di antara orangtua yang masih memamah sirih pinang. Logat Melayu NTT yang kahs dengan intonasi dan singkatan-singkatan untuk mem-percepat waktu, terkadang membuatku harus pasang telinga lebih awas lagi. Alunan nada suara tinggi dan rendah bahkan berbisik memberikan pelajaran baru sekaligus menyentak kesadaranku. Betapa asingnya aku pada tanah leluhurku snediri.
            Sepanjang perjalanan menuju kota Kupang kutemui batu karang dengan jejeran pohon lontar yang tumbuh secara alami. Bukit-bukit yang separuh hijau dan separuh berkapur membentang seolah-olah menyelimuti pantai yang terletak di bawah dan menjorok ke dalam. Selebihnya, hamparan padang alang-alang di sisi kiri dan kanan jalan. Satu-satunya keindahan adalah lambaian daun lontar yang tertiup angin laut. Pohon-pohon itu seperti mengucapkan selamat datang kepadaku.
            Dari balik jendela kulihat kapal-kapal penangkan ikan melempar sauh, menanti angin baik untuk kembali beroperasi. Cakrawala kian bersinar oleh matahari yang sangat terik. Biru langit berpadu dengan awan putih yang membentuk lukisan-lukisan abstrak. Aku terbius oleh panorama di hadapanku, perpaduan batu karang, alang-alang, dan deretan pohon lontar yang merupakan penghasil gula merah, nira, dan sofi. Yang terakhir itu adalah minuman keras khas NTT.
            Dan aku tiba-tiba merasa sedih. Ingatanku langsung melayang pada Yuri. Ah, nama itu muncul tiba-tiba di benakku. Di mana dia sekarang? Apakah masih di Kupang? Apakah sudah menikah? Apakah sudah mempunyai anak? Atau ... jangan-jangan sudah memiliki cucu?
            Yury! Nama itu selalu membangkitkan kenanganku tentang Timor Lorosae. Ada goresan lara saat kuinjakkan kakiku di tanah  yang baru kudatangi pertama kali ini. Dia, lelaki yang namanya selalu menggetarkan perasaanku hingga kini, rasanya masih memiliki magnet dan pesona tersendiri  yang kusimpan rapat-rapat di dasar hatiku.  Tak ada yang tahu kisahku dengannya. Semua kusimpan dengan rapi di sanubariku.
            Yury  adalah cinta pertamaku. Cinta sepihak karena dia tak pernah tahu betapa aku mencintainya. Aku menjaga cinta itu hingga kini, menjelang empat puluh tahun usiaku. Bisakah Yuri kutemui di sini? Ha, aku tersenyum dalam hati, tak yakin dengan harapanku sendiri.
            ”Ibu mau menginap di hotel apa? Di sini ada hotel Pantai Timor, Hotel Sesandu, Kristal, dan hotel-hotel kelas melati. Ibu mau yang kelas apa?” tanya si penjemput mengejutkanku.
            ”Yang melati saja, asalkan bersih.”
            Dua petugas dari dinas pendidikan itu mengangguk diam. Perutku sudah mulai keroncongan. Di luar sana hijaunya pepohonan sudah tampak mulai menipis. Kami melewati sisi jurang yang cukup curam. Di sekelilingnya batu-batu karang berdiri dengan kokoh perkasa.
            Selebihnya, hamparan tanah kosong dengan beberapa kelompok perumahan penduduk terlihat di sana-sini. Mendekati arah ke kota, perumahan terlihat kian memadat, namun tanah-tanah kosong di sana sini masih terlihat. Riuhnya kota Kupang adalah karena bunyi klakson angkutan kota dan musik yang berdentam-dentam memekakkan telinga.
            ”Ibu, kita sudah tiba di hotel!” ujar si penjemput.
            Aku tersentak. Pikiranku tentang Yuri buyar. Mataku menatap bangunan yang disebut hotel. Sederhana, mirip wisma, di sana-sini penuh puing-puing kayu dan sisa cipratan adukan semen. Hm … hotel ini tampaknya sedang dipugar. Aku berharap kamar mandi dan sepreinya bersih dan segar.
            Dugaanku setengahnya benar. Kamar sudah jelas jauh berbeda dengan hotel bintang lima atau tempat yang kerap kuinapi. Aku bersyukur aroma segar sabun cuci favoritku tercium dari seprei dan sarung bantal yang baru dipasang. AC setengah PK yang baru dinyalakan masih terasa suam-suam kuku. Dinginnya  belum menyebar ke seluruh ruangan. Kutengok kamar mandi, lumayan bersih. Tak ada kecoak yang berlari dengan bebas di dalamnya.
            Aku menarik nafas lega.  Setelah kedua penjemputku pamit, kuempaskan diriku di pembaringan. Khayalanku tentang Yury kembali menari-nari. Kucari namanya di HP-ku. Nomor HPnya kuperoleh dari seorang  teman yang kebetulan satu kantor dengannya. Dadaku berdebar kencang ketika nama itu muncul dengan jelas. Haruskah aku menelponnya dan mengabarkan kedatanganku ke kota ini? Ah ...!
            Selang beberapa menit ada yang mengetuk pintu kamar hotelku. Di sana, di balik pintu, seorang pria tinggi, gagah, berkulit sawo matang, tersenyum menyapaku.
            ”Selamat siang Bu Rima. Senang bisa mengenal Ibu. Bagaimana, apakah Ibu bahagia akhirnya bisa menginjak tanah leluhur?”tanyanya.
            Aku agak sedikit terkesiap. ”Maaf, Bapak siapa? Dari mana Bapak tahu saya asli orang sini?”
            ”Kenalkan, saya Herman Nalle, kepala bidang untuk urusan bakat dan prestasi siswa di dinas pendidikan sini. Saya tahu Ibu dari Yuri, kakak saya,” sahutnya sambil mengulurkan tangan.
            Yuri? Aku bertanya dalam hati. Detak jantung di dadaku menjadi lebih keras. Dari mana dia tahu aku ada di sini? Sudah cerita apa saja dia tentang aku?
            “Yuri kebetulan mendengar saat saya bicara dengan anak buah tentang kedatangan Ibu. Dia bilang sangat mengenal Ibu.”
            ”Kapan kita memantau kegiatan siswa, Pak? Seluruh peserta dari daerah sudah datang?” aku memotong kalimatnya secepat debar di dadaku.
            ”Hari ini siswa-siswa peserta seleksi olahraga baru tiba dari daerah masing-masing. Mereka ada yang datang dari Alor, Ende, Flores, Maumere, dan Lembata. Beberapa daerah menunda keberangkatan  karena cuaca kurang bersahabat. Mereka menggunakan kapal ferry untuk menyeberang.”
            Aku tercenung. Seleksi pemilihan siswa-siswa SMA NTT yang akan bertarung kejuaraan olahraga SMA tingkat nasional ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Perjuangan mereka untuk tiba di ibu kota provincia  tidak segampang membalikkan telapak tangan. Selain biaya dan waktu, cuaca pun bisa menjadi kendala.
            “Kami berharap besok seluruh peserta sudah  tiba dan lusa seleksi sudah bisa dilaksanakan.” Herman seakan mengerti jalan pikiranku. “Yuri ingin bertemu dengan Ibu jika Ibu ada waktu.,” lanjutnya  perlahan.
            Sialan! Aku mengumpat dalam hati. Apa yang sudah  diceritakan lelaki itu pada adiknya? Apakah dia tahu kalau aku sangat mencintainya?
            “Boleh saja kalau dia mau ke sini. Ajak serta anak dan istrinya biar saya bisa berkenalan denagn mereka..” Hhh ... formalitas yang penuh basa-basi, kutukku dalam hati.
            Herman menatapku sekilas. Dia tidak memberi respons atas ucapanku. Padahal aku ingin sekali tahu seperti apa sosok istri Yury. Ketika kami kembali berbincang-bincang tentang pekerjaan yang akan kami hadapi besok, telepon genggamnya berdering dan Herman segera beranjak keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
            Saat ia kembali, wajahnya murung dan pucat.
            ’Ada apa, Pak Herman?”
            ”Maaf, Bu, saya harus ke rumah sakit. Istri Yury kritis.” Lelaki tinggi gagah itu dengan cepat berlalu.
            Aku termenung di tempat. ”Hey .. bolehkan aku ikut ke rumah sakit?” seruku tiba-tiba.
            Herman membalikkan tubuhnya dan memandangku tajam sebelum akhirnya berkata, ”Baiklah jika Ibu tidak keberatan.”
            Aku tidak menyangka  akan alur cerita akan menggiringku ke arah seperti ini. Ketika akhirnya bertemu Yury, aku bergetar dalam diam. Dia masih sama seperti dulu. Tinggi, gagah, berperut rata, kulit kecoklatan, rambut lebat lurus, dan berkacamata. Beberapa kerutan tampak di sudut-sudut matanya yang semakin jelas saat dia tersenyum. Sungguh, dia sangat kharismatik dan berwibawa.
            ”Halo Rima, apa kabar?” tanyanya dengan raut wajah murung. Ia menjabat tanganku erat.
            ”Baik” sahutku serak. Jantungku berdetak cepat.
            Yury mengangguk. Kami tak berkata-kata. Aku tahu Yury melirikku beberapa kali.
            ”Kamu semakin matang, anakmu berapa?” tanyanya perlahan.
            ”Sakit apa istrimu?” Kucoba mengalihkan pertanyaannya.
            ”Jantung. Seharusnya ia tak boleh hamil. Kehamilan ini sangat berbahaya dan berisiko buatnya. Ini salahku.”
            Aku hampir tersedak. ”Anakmu berapa?”
            ”Empat. Ini yang kelima!”
            Klai ini benar-benar aku tersedak hingga terbatuk-batuk.
Amboi, andai saja aku yang melahirkan lima anak itu1 Andai saja Yury menyebarkan benihnya di rahimku. Andai saja ...
            Maaf Rima, aku harus masuk ke dalam!” Tiba-tiba Yury memegang bahuku, kemudian melangkah ke dalam ruangan dengan wajah pucat.  Ynag terjadi kemudian adalah hening dan bisu. Selanjutnya suara tangisan panjang suara remaja dan anak-anak terdengar dari dalam kamar tempat istri Yury dirawat. Aku tahu di sana baru saja ada yang kehilangan istri dan ibu.
            Dua hari kemudian, Yury mengantarku ke bandara El Tari. Dia sudah tampak tenang.
            ”Rima, bagaimana perasaanmu selama berada di tanah leluhurmu?” tanyanya.
            ”Banyak yang kurasakan. Gembira, senang dan surprise.”
            ”Oh ya. Mengapa surprise.”
            ”Hmm ...”
            Bertemu denganku?” Yury memotong.
            Duh! Lidahku tiba-tiba kelu. Dua titik bening merebak di kedua sudut mataku. Aku hampir menangis.
            ”Sudahlah, aku tahu apa yang kau rasakan. Dua puluh lima tahun bukan waktu yang sedikit untuk menyimpannya. Aku tahu apa yang ada di hatimu, Rima. Seharusnya kau tanyakan mengapa aku pulang ke kampungku pada ayahmu.”
            ”Ada apa? Apa yang harus kutanyakan pada ayahku?” Kutatap wajah Yury dengan pandangan tak mengerti.
            Yury menatap cakrawala yang hampir senja di atas bandara El Tari. ”Ayahmu pernah berkata, bila aku meminangmu dan membawamu kembali ke NTT, berapa belis yang bisa kuberi. Kau tahu, Rima, belis itu adalah mas kawin yang harus kuberikan kepadamu. Ayahmu meminta sepuluh ekor sapi dan sepuluh ekor kerbau sebagai mas kawin untukmu. Waktu itu aku tertegun mendengarnya. Orangtuaku petani miskin, aku bisa kuliah berkat beasiswa yang diberikan pemerintah. Dari mana bisa kuperoleh belis sebanyak itu?”
            Kini air mataku benar-benar tumpah. Sebelum masuk ke ruang check in bagasi, kukecup punggung tangan Yury dengan air mata yang membasahi pipiku. ”Maafkan ayahku, Yury. Asal kau tahu aku cinta padamu. Selama dua puluh lima tahun kujaga rasa cinta itu dengan khayal dan imajinasiku. Selama dua puluh lima tahun, kulalui kesendirianku sambil mengenang dirimu. Selama dua puluh lima tahun aku memilih untuk tidak menikah demi merawat cintaku kepadamu. Selamat tinggal Yury ....”
            Sekali lagi kupandang wajahnya untuk terakhir kali sebelum kutinggalkan tanah ini. Di sana, pada raut wajahnya aku melihat cinta.

                                                                                                            Suara Karya 2010


Diambil dari Kumpulan Cerpen : Suamiku Dirampok Orang

Judul            : Suamiku Dirampok Orang
Jenis            : Kumpulan Cerpen
Pengarang   : Fanny J  Poyk
Penerbit       : Teras Budaya
Tebal            : 179 halaman (17 Cerpen)
Harga           : Rp. 50.000,-
Bagi yang ingin memiliki bisa memesan di :
Phone           : 0813 8011 8617
Alamat         : Jln. Pemuda No. 100, Gang 1, Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat   16431


Laporkan Pelanggaran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar