Lara ingin secara frontal mengungkapkan apa yang ia rasa, namun ia tak sanggup, suaranya terhenti, ia merasa bukan bagian dari budaya yang menghalalkan perempuan untuk menyatakan pendapat terlebih dahulu. Kakinya masih berada di sini, berada di negeri yang mengharuskan perempuan menunggu untuk mengungkapkan perasaannya, mengungkapkan rasa cintanya. Di sini, di sisi Johan, hatinya merintih, perih bagai teriris sembilu yang tajam. Ia hanya bisa memandang orang yang dicintainya dengan diam, ia hanya bisa melihat mimik wajahnya dengan penuh kekaguman, ia hanya dapat merasakan debur jantungnya berdetak cepat bila berada di sisi sang pujaan hati. Sementara orang yang membuatnya mabuk kepayang itu, membisu dengan wajah tanpa senyum, seolah tak peduli kalau di sisinya ada sesosok gadis yang selalu menunggu dan menunggu respon darinya.
Sesungguhnya, Johan tahu jika Lara begitu mengangguminya. Ia tahu ada cinta yang disuguhkan tanpa reserve kepadanya. Tapi…ada sesuatu yang tak bisa ia katakan pada gadis itu, suatu rahasia yang ia takutkan kelak akan menjadi derita panjang untuk Lara. Itu sebabnya, ketika Lara selalu memerhatikan sosoknya dari berbagai sudut, lelaki ini berkata, “Kenapa kamu selalu memerhatikan aku sedemikian rupa?”
“Ah tidak. Aku hanya suka saja melihat gayamu. Ada angle yang menarik dari wajahmu. Nanti angle itu akan kufoto, kau akan kujadikan foto profilku di Facebook, boleh kan?”
“Tidak, aku tidak suka.”
“Kenapa?”
“Aku tidak senang publisitas.”
Lara diam. Jawaban yang ketus membuatnya enggan melanjutkan percakapan.
Hari itu, perjalanan liputan bersama membuat hatinya kelu. Lara seorang wartawati sebuah majalah tanaman sekaligus rumah, sedang Johan arsitek yang bertugas menangani rubrik perumahan di majalah tempat mereka bekerja. Keduanya kerap hunting lokasi bersama, Lara mencari tempat menarik untuk diulas menjadi berita yang up to date, sedang Johan menulis dari sudut pandang arsitekturnya. Keduanya saling membantu, saling bekerjasama, namun di antara kebersamaan itu, Lara merasa hampa, ia tertekan dengan perasaannya sendiri, tertekan karena jatuh cinta pada laki-laki yang sedikit pun tidak pernah menanggapi perasaannya.
Lara meradang. Cinta sepihak memang menyakitkan, ia ingin mengadu pada langit, ia ingin bertanya pada angin, pada senja, pada pelangi, pada sinar mentari, pada siapa saja tentang rasa cinta terpendam yang ia rasakan. Sungguh, hatinya begitu perih, mengapa, mengapa Johan tidak menyadari kalau dirinya sangat menyintainya. Mengapa Johan tidak menyediakan sedikit ruang di hatinya untuk ia isi, ia berikan sebait kata-kata indah yang menuturkan bahwa selama ini ia memendam rasa, rasa tentang seonggok cinta yang dipendamnya tahun demi tahun? Mengapa?
“Sudahlah Lara, jangan melamun terus, itu tidak baik,” Johan memandang lurus ke depan, memandang tanpa ekspresi dari balik setir mobil yang dikemudikannya.
“Banyak yang kupikirkan Johan. Salah satunya…”
“Salah satunya apa?”
“Tentangmu.”
“Aku?”
“Yup.”
“Kenapa?”
Lara membisu.
“Kenapa?” ulang Johan.
“Suatu saat kau akan mengerti, kau akan tahu seperti apa itu cinta.”
Johan tergelak. Katanya, “Kau tahu apa tentang cinta? “
Lara hampir marah. “Aku tahu apa arti cinta. Aku pernah merasakannya.”
“O ya? Dengan siapa?”
Mata Lara berkaca-kaca. Betapa bodohnya laki-laki ini. Bila ia tidak tahu sinyal-sinyal yang kuberikan, itu sama saja ia tak punya hati. Lara ingin menangis, ingin memukul lelaki yang ada di sampingnya, ia ingin berteriak mengatakan apa yang ia rasa. Namun semua mengendap diam di hatinya. Ia hanya membisu tak mengucapkan kata sepatah pun.
“Kamu jatuh cinta dengan siapa, Lara?”
“Tidak ada, kamu?”
“Ada! Aku sudah lama mencintainya.”
“Siapa?” sebersit cahaya berpendar di benak Lara.
Johan mengeraskan rahangnya. Dan Lara tidak melanjutkan pertanyaannya. Kalimat yang terlontar dari bibirnya terasa kering dan sendu.
“Aku mencintai seseorang, tapi orang itu tidak pernah tahu kalau aku menyintainya. “ Ucap Lara akhirnya.
“Mengapa tidak kau katakan langsung pada orang itu?”
“Tidak bisa. Aku ingin ia tahu dari sinyal-sinyal yang kuberikan.”
“Apakah dia sudah tahu?”
“Belum. Tapi biarlah, aku berharap secara bertahap dia akan tahu.”
Johan tertawa. Tangan kirinya mengacak-acak rambut Lara. “Aku tahu siapa yang kamu maksud.”
“Siapa?”
“Aku, kan?” canda Johan.
Lara terkesiap. Matanya gelap, sejenak perasaannya kacau balau. Ia ingin menganggukkan kepala, namun semua tidak dilakukannya. Ia sendiri merasa aneh, mengapa di tengah peluang yang ada, ia tidak menyatakan apa yang ia rasakan dengan sejujur-jujurnya. Mengapa? Duh, ia mengutuki sikapnya.
“Lara, mengapa kamu diam? “
“Mmmm…aku terkejut.”
“Mengapa terkejut?”
“Sudahlah Johan, aku tak kuasa untuk mengatakannya. Aku telah letih bertarung dengan perasaanku sendiri. Andai saja perasaan itu tidak muncul, alangkah senangnya aku. Sebab, rasa cinta yang bergaung-gaung di kepalaku, telah memutarbalikkan seluruh persendian hidupku. Aku tidak hidup di dunia Barat yang bebas berekspresi, bebas berbuat di luar norma-norma yang berlaku, bebas berdemokrasi dalam segala hal, aku hidup di dalam dunia yang yang ku pilih sesuai dengan adat dan istiadat yang mengungkunginya. Rasa cinta ibarat kue, itu sebabnya, jika kue yang akan kita berikan pada seseorang mulai membusuk, maka kue itu akan kita buang ke tong sampah dan orang itu tak pernah tahu akan niat baik kita.” suara Lara pedih.
“Sebaiknya begitu, sebab orang yang akan diberikan kue itu belum tentu suka.” Johan masih tetap mengeraskan rahangnya.
Duh! Lara sudah tahu jawabannya, ya laki-laki tampan, sangat trendy, wangi dan memiliki selera tinggi ini, seyogyanya memang harus melupakan dirinya. Ia berbanding terbalik dengan pria yang dikasihinya itu. Lara mengutuki dirinya. Seharusnya tak kuungkapkan semua perasaanku. Aku bukan siapa-siapa, aku bukan pecinta Guy Laroche, Louis Vuitton, Hermes, Prada, Francesco Biasea, Kenzo, Miu-Miu, atau Vera Wang. Aku juga bukan pemakai parfum Bvlgary, Samsara, JLO, Benetton, Paris Hilton atau White Musk.
Lara adalah Lara, sang pecinta alam yang mengagumi bau alam, bau tubuhnya, dengan kebersahajaannya ia selalu mensyukuri kecantikan alam di setiap doanya. Tak ada polesan make-up di setiap inchi wajahnya, tak ada usapan high light atau pewarna rambut di setiap helai rambutnya. Ia juga tidak mengenal foundation bermerek Clinic, mascara Revlon, atau Maybeline yang selalu ditemuinya pada iklan-iklan di Mal dan setiap saat seolah memanggil-manggil hatinya untuk mencobanya. Lara tidak mengenal pulasan rouge di pipi, ia pernah mencoba sebuah produk kosmetik dengan kelas lebih rendah dari itu, dan konsekuensinya, di wajahnya tumbuh beberapa jerawat yang terasa sangat perih dan gatal. Ya, pada akhirnya Lara sadar, bahwa rupanya adalah rupa alam, alam telah memberi nafas dan jiwanya sehingga ia kembali ke jati dirinya sendiri. Mengenai hal ini, Johan pernah memberikan komentarnya.
“Mengapa kamu tampak semrawut, tidak rapi, tidak berbau harum dan segar?”
Lara terhenyak. Ia mencium tubuhnya, ia mencium ketiaknya. Lara merasa semua aroma pemberian Tuhan pada tubuhnya sangat menyegarkan.
“Pakailah deodoran, rambutmu mbok ya dijalin yang rapi. Masak rambut sepanjang itu digerai seperti kuntilanak…”
Kembali bibir Lara terkatup. Ketika beberapa hari kemudian Johan membelikannya deodoran, parfum, shampo dan peralatan make-up lainnya, Lara terkesima.
“Jika ingin menjadi perempuan yang menarik, pakailah ini. Kamu bukan hidup di hutan. Meski kamu wartawati majalah tanaman, bukan berarti selamanya kamu tidak pernah bergaul dengan manusia. Pada saat kamu mewawancarai para orang kaya yang memiliki kebun anggrek luas, pada saat kamu mewawancarai pejabat yang memiliki kebun berhektar-hektar, pada saat kamu bercakap-cakap dengan para pakar tanaman dan ahli botani, mereka akan menghirup aroma tubuhmu, mereka akan memerhatikan wajahmu, mereka akan tersenyum padamu. Mereka akan mengernyitkan dahi bila kamu tampil kusam, tidak menarik dan bau. Camkan itu!”
Hayaaa…hampir saja Lara tertawa. Ia ingin berteriak pada Johan, ia ingin memeluk laki-laki itu, dadanya membuncah oleh rasa bahagia. Tapi semuanya hilang bersamaan sikap Johan yang acuh tak acuh dan meninggalkannya begitu saja usai memberikan semua peralatan yang sangat berbau kewanitaan itu. Lara termangu.
***
Kini semuanya harus diperjelas. Setelah segala anjuran Johan dipatuhinya, Lara ingin ada respon balik yang juga transparan dari laki-laki itu. Dan yang terpenting dari semua ini, adalah, ia harus tahu bahwa Lara menyintainya. Harus, Johan harus tahu!
“Besok ada liputan di Puncak, Bogor, aku akan menemui pemilik kebun anggrek terbesar di sana, kau mau ikut? Lumayan, dia juga memiliki berbagai kucing Anggora cantik yang cocok untuk rubrik barumu. Kalau mau ikut, kita pergi bertiga.”
“Bertiga, dengan siapa?”
“Andika, dia serumah denganku. Kau kan sudah pernah berkenalan dengannya.”
Lara sejenak diam, mencoba mengingat-ingat sosok Andika. Hm…ya, dia sama harumnya dengan Johan, laki-laki metropolis yang sangat memerhatikan penampilan. “Apakah nanti aku tidak mengganggu?”
“Maksudmu?”
“Aku kan bau, kalian wangi…”
ohan tertawa, lalu mengacak-acak rambut Lara. “Kau sudah mulai wangi sekarang. Rambutmu juga harum, shamponya beda dari yang yang kubelikan dulu, ya?”
Lara mengerjapkan matanya. Tangan Johan yang menyentuh kulit kepalanya bagai desiran angin senja yang lembut namun menusuk hingga ke ulu hati. Ia memandang punggung laki-laki yang dicintainya itu dengan perasaan yang tak menentu. Semua gerakan tubuh Johan menjadi pusat perhatiannya, semua itu makin membuatnya menderita. Lara tahu, semakin ia memerhatikan laki-laki yang dikasihinya, luka di hatinya semakin menganga. “Aku tidak ikut Johan, kerjaanku menumpuk. Beberapa tulisan belum selesai kugarap,” kata Lara akhirnya.
“Lho, tidak bisa, kita harus pergi bertiga. Aku sudah menyiapkan semuanya.”
“Maksudmu?”
Johan menatap mata Lara tajam. Dahinya bertaut, sudut bibirnya naik ke atas. Dengan gaya yang kekanak-kanakan ia mendengus. “Ya sudah, pokoknya nanti kamu harus ikut, titik!”
Beberapakali sudah Lara melihat sikap seperti itu, gaya yang unik dan sangat berbeda dari para lelaki yang dikenalnya. Merengut, ngambek dan marah seperti perempuan, adalah gaya yang kerap dikeluarkan lelaki pujaannya. Lara, pernah merasa sedikit aneh, namun dia memulas semuanya dengan rasa cinta yang menggebu. Sikap yang ditunjukkan laki-laki yang dicintai inilah yang lambat laun membuatnya selalu rindu untuk bertemu. Ah, cinta memang amazing…
“Maksudmu mempersiapkan apa?”
“Kamu tidak tahu tanggal berapa sekarang? Ah, tampaknya kamu benar-benar perempuan yang tidak pernah menghafal hari-hari penting seseorang.”
My God! Lara menepuk dahinya. Lalu dengan spontan ia mencium pipi Johan. “Selamat ulang tahun ya…”
Johan secara spontan pula menarik pipinya. Rona wajahnya merah dadu. “Kamu jadi ikut, kan?”
Lara mengangguk, “Oke deh, aku ikut. Cuma kalian nanti jangan meledek soal penampilanku, ya?”
“Terimakasih Sista!” Johan kembali mengacak-acak rambutnya. Lara senang.
***
Mungkin inilah sebaiknya momen yang tepat yang harus disampaikannya. Di tengah suhu dingin pegunungan, saat beragam bunga anggrek bermekaran, di kala ceiricit burung bersahut-sahutan, Lara merasa sangat melankolis dan ia yakin situasi ini mendukung kalimat-kalimat yang telah ia tata di ruang benaknya. Ia mencuri pandang tiap gerakan tubuh Johan tanpa berkedip. Gadis berkulit sawo matang, dengan mata indah, berkacamata minus dua, bertubuh tinggi semampai, dan jika tersenyum sangat menawan ini, telah memiliki tekad bulat untuk menyatakan perasaannya. Persetan dengan segala norma dan aturan yang berlaku, persetan dengan akibat yang bakal diterima, yang penting Johan harus tahu. Johan harus tahu semuanya. Dan jawaban Johan membuatnya bagai terjatuh dari apartemen berlantai dua belas, gadis semampai ini terpuruk, hatinya porak-poranda.
“Aku tidak pernah menyintai wanita Lara. Itulah jawabanku!” ujar Johan tegas dengan intonasi suara yang berat dan sedikit serak.
Lara tertegun. Ia meraih jemari Johan. Laki-laki itu berusaha menariknya, namun Lara menahannya dengan kuat.
“Mengapa? Kau tahu, aku sangat menyintaimu, menyintaimu sejak dulu, sejak pertamakali melihatmu…”
Johan menatap Lara tajam. Air mata memenuhi pelupuk matanya. Ia merengkuh bahu gadis itu, memeluknya penuh rasa sayang. “Maafkan aku Lara, aku sayang kamu, tapi aku tak bisa menyintaimu. Aku…sudah memiliki kekasih, kami bertahun-tahun telah hidup bersama. Dia bagian dari hidupku. Kami satu tubuh dua nyawa. Perasaan dan hati kami telah menyatu. Sungguh, aku tak mau mengecewakanmu, sekali lagi, aku tak bisa menjadikanmu kekasih…”
Lara memandang mata Johan tajam. Ia menangis, menangis dengan sangat sedih. Kerongkongannya getir. Selesai sudah perjuangannya, tamat sudah kisah cintanya. Ia merasa bagai berjalan di hamparan padang rumput yang luas, sepi dan merana. Cintanya telah hilang, lelaki yang dikasihinya tak dapat ia rengkuh. Lara mengusap air matanya, juga air mata yang mengalir di pipi lelaki pujaannya.
“Aku telah kalah. Boleh kutahu nama kekasihmu?” tanya Lara serak.
Johan diam beberapa saat. Matanya melirik sebuah siluet tipis seorang lelaki yang berada di balik rerimbunan pepohonan yang ada di kebun anggrek itu. Lalu jemarinya menunjuk ke arah siluet itu. “Itu dia, dia berdiri di balik pohon itu, dia yang ikut semobil bersama kita.”
“Andika?
“Ya…”
Kini Lara benar-benar hendak jatuh. Johan merengkuhnya. Lara kembali menangis, dua mahluk berlainan jenis itu menangis bersama-sama…
Depok, Februari gerimis 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar